KISAH-1
Pengamalan Al-Qur'an (3:134)
Di sebuah perkampungan yang dilanda kemarau panjang, Fatimah, seorang ibu tunggal, berjuang keras demi kedua anaknya, Hasan dan Husna. Kekeringan telah merenggut panen, menyisakan lapar yang perih. Namun, di tengah kesulitan, Fatimah selalu memegang teguh ajaran Al-Qur'an, terutama Surat Ali Imran ayat 134 tentang berbagi, menahan amarah, dan memaafkan, Bahkan dengan segenggam beras terakhir yang dimiliki, ia rela memberikannya kepada tetangga yang lebih membutuhkan, hatinya lebih pedih bilamana mendengar tangisan kelaparan orang lain.
Suatu hari, keajaiban datang dalam wujud seorang pedagang kaya yang tergerak oleh cerita tentang kebaikan hati Fatimah. Bantuan mengalir, membawa secercah harapan bagi desa yang merana. Namun, benih perselisihan tak terhindarkan. Tuduhan pencurian bibit tanaman hampir memicu pertikaian sengit antara keluarga Pak Burhan dan Pak Jono. Amarah membara di kedua belah pihak, siap meledak menjadi permusuhan yang lebih dalam.
Fatimah hadir di tengah bara emosi itu, suaranya bagai embun penyejuk. Ia mengingatkan tentang pentingnya persatuan setelah sekian lama dilanda musibah. Ketika anak Pak Jono dengan polos mengakui ketidaksengajaan menjatuhkan bibit tanaman sehingga dimakan kambing secara tiba-tiba, amarah Pak Burhan meredup, digantikan rasa malu yang mendalam. Fatimah dengan lembut mengajarkan tentang keindahan memaafkan, memutus rantai permusuhan sebelum merenggut kedamaian yang baru saja bersemi.
Tak lama berselang, kabar duka datang dari pesisir. Badai dahsyat menghantam desa nelayan, merobohkan gubuk-gubuk dan merenggut mata pencaharian. Di antara korban adalah Daeng Usman dan cucunya bernama Aisyah, yang kehilangan segalanya. Mendengar berita pilu itu, hati Fatimah tergerak. Ia tahu betul bagaimana rasanya kehilangan dan berjuang dari nol.
Tanpa ragu, Fatimah mengumpulkan warga desanya. Mereka yang baru saja merasakan uluran tangan kebaikan, kini tergerak untuk membalasnya. Dengan berjalan kaki berjam-jam, mereka membawa bantuan seadanya: makanan, pakaian bekas, dan semangat untuk membangun kembali.
Tiba di pesisir yang porak poranda, Fatimah melihat Aisyah memeluk erat kakeknya di tengah reruntuhan. Air mata duka masih membekas di wajah gadis kecil itu. Fatimah mendekat, menggenggam tangan Aisyah dengan penuh kehangatan. "Nak," ucapnya lembut, "meski badai merenggut rumahmu, ia takkan bisa merenggut hati kita. Kita di sini untuk kalian."
Malam itu, di bawah langit yang masih berawan, warga desa yang dulu dilanda kemarau dan kini berbagi duka dengan nelayan yang kehilangan, duduk bersama. Tidak ada perbedaan, yang ada hanya rasa kemanusiaan yang mengikat. Fatimah membagikan nasi bungkus sederhana, hasil dari uluran tangan sesama. Di matanya terpancar keteguhan dan kehangatan, seorang ibu yang telah belajar pahitnya kehilangan namun memilih untuk terus berbagi dan menguatkan. Kisah Fatimah menjadi cerminan bahwa di tengah kesulitan yang mendalam, kebaikan hati dan kepedulian adalah lentera yang menuntun menuju harapan, air mata duka pun perlahan mengering digantikan oleh kehangatan persaudaraan yang tak ternilai harganya.
